Medan,(Digital News.Com) – Sepanjang tahun 2011 ini, kekerasan terhadap pers masih saja terjadi
. Berdasarkan catatan Forum Komunikasi Wartawan Indonesia (FORKOMWARI)sebanyak 49 kasus kekerasan pers, baik fisik maupun nonfisik terjadi terhadap jurnalis di tanah air sepanjang tahun 2011.
Meski masih terdapat kekerasan, selama 2011 tidak ada laporan jurnalis yang meregang nyawa dibanding tahun 2010, ketika 3 jurnalis dibunuh dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Menurut Ketua Umum Forkomwari Syaiful Badrun, jumlah kekerasan fisik di tahun 2011 meningkat dari 16 kasus menjadi 19 kasus yang didominasi oleh aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik meliputi intimidasi, teror, pemukulan, penyerangan, pengeroyokan, pembakaran, sampai pembunuhan.
Forkomwari meminta masyarakat agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis dan pers. Serta meminta ketegasan aparat Penegak hukum dalam mengusut kasus-kasus kekerasan tersebut.
"Ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus kebebasan pers dengan cara kriminalisasi. Bahkan, sampai ada upaya membangkrutkan media dengan tuntutan ganti rugi yang tak proporsional," ujarnya.
Ia mengungkapkan, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap jurnalis selama ini merupakan catatan buram bagi penegakan demokrasi di Indonesia. "Pers adalah bagian dari empat pilar demokrasi, kemerdekaan menyampaikan fakta dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4 Ayat (3)," tambahnya.
LBH Pers mencatat, selama tahun 2011 terjadi 96 tindak kekerasan, baik fisik maupun nonfisik, terhadap jurnalis dengan jumlah terbesar dialami jurnalis media surat kabar harian. Sementara jurnalis media televisi, online, radio, dan majalah menempati urutan selanjutnya.
Hendrayana mengatakan, LBH Pers terus mengingatkan kepada sejumlah pihak untuk memberikan jaminan bagi kebebasan pers yang merupakan amanat konstitusi.
Selain itu, mereka juga berharap pihak kepolisian bersikap transparan dalam menangani dan menyelidiki kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. "Polisi seperti tidak maksimal dalam mengusut kasus-kasus pembunuhan jurnalis dan menyeret pelaku ke pengadilan," katanya.
Selain kekerasan, juga terdapat 9 regulasi baru yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Regulasi tersebut adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen, RUU Rahasia Negara, RUU Tindak Pidana Teknologi Reformasi, RUU Konvergensi Telematika, Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, dan Revisi KUHP.
Menanggapi itu, Pemimpin Redaksi Waspada Online, Avian Tumengkol, berpendapat bahwa para wartawan memang harus diberikan perhatian yang lebih. Khususnya terhadap keselamatannya dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Prinsip safety first, menurut Avian, harus selalu dikedepankan. "Karena yang menjadi prajurit media di lapangan adalah wartawan atau reporter. Kadang kita lupa bagaimana dan apa yang dihadapi oleh tim di lapangan," katanya tadi malam.
Selain itu, Avian juga mengatakan bahwa kesejahteraan para awak media penting. Kesejahteraan dinilai penting karena faktor ini yang akan menjamin mereka loyal dalam dedikasinya kepada perusahan. "Loyalitas menjadi sangat penting karena tanpa itu, kita bisa kehilangan orang-orang (wartawan, red) terbaik kareran mereka pindah ke media lain untuk mendapatkan keuntungan dan jaminan ekonomi yang lebih baik."
Avian juga mengingatkan, aparat penegak hukum juga perlu memahami peran dan tugas jurnalistik. "Ini terkait dengan kekerasan yang terjadi. Banyak pihak tidak terkecuali aparat hukum yang merasa terancam karena adanya pers. Nah ini harus dijaga dan jangan sampai pers diancam-ancam atau dipelakukan dengan kekerasan," tegas Avian.
Tidak ada komentar: